Rabu Abu : Asal Mula Perayaan & Penggunaan Abu
oleh: P. William P. Saunders
Seorang teman Protestan bertanya mengapa orang Katolik mengenakan abu pada hari Rabu Abu. Bagaimanakah asal mula perayaan dan penggunaan abu?
Penggunaan abu dalam
liturgi berasal dari jaman Perjanjian Lama. Abu melambangkan perkabungan,
ketidakabadian, dan sesal / tobat. Sebagai contoh, dalam Buku Ester, Mordekhai
mengenakan kain kabung dan abu ketika ia mendengar perintah Raja Ahasyweros
(485-464 SM) dari Persia untuk membunuh semua orang Yahudi dalam kerajaan
Persia (Est 4:1). Ayub (yang kisahnya ditulis antara abad ketujuh dan abad
kelima SM) menyatakan sesalnya dengan duduk dalam debu dan abu (Ayb 42:6).
Dalam nubuatnya tentang penawanan Yerusalem ke Babel, Daniel (sekitar 550 SM)
menulis, “Lalu aku mengarahkan mukaku kepada Tuhan Allah untuk berdoa dan
bermohon, sambil berpuasa dan mengenakan kain kabung serta abu.” (Dan 9:3).
Dalam abad kelima SM, sesudah Yunus menyerukan agar orang berbalik kepada Tuhan dan bertobat, kota Niniwe memaklumkan puasa dan mengenakan kain kabung, dan raja menyelubungi diri dengan kain kabung lalu duduk di atas abu (Yun 3:5-6). Contoh-contoh dari Perjanjian Lama di atas merupakan bukti atas praktek penggunaan abu dan pengertian umum akan makna yang dilambangkannya.
Dalam abad kelima SM, sesudah Yunus menyerukan agar orang berbalik kepada Tuhan dan bertobat, kota Niniwe memaklumkan puasa dan mengenakan kain kabung, dan raja menyelubungi diri dengan kain kabung lalu duduk di atas abu (Yun 3:5-6). Contoh-contoh dari Perjanjian Lama di atas merupakan bukti atas praktek penggunaan abu dan pengertian umum akan makna yang dilambangkannya.
Yesus Sendiri juga
menyinggung soal penggunaan abu: kepada kota-kota yang menolak untuk bertobat
dari dosa-dosa mereka meskipun mereka telah menyaksikan mukjizat-mukjizat dan
mendengar kabar gembira, Kristus berkata, “Seandainya mukjizat-mukjizat yang
telah terjadi di tengah-tengahmu terjadi di Tirus dan Sidon, maka sudah lama
orang-orang di situ bertobat dengan memakai pakaian kabung dan abu.” (Mat
11:21)*
Gereja Perdana
mewariskan penggunaan abu untuk alasan simbolik yang sama. Dalam bukunya “De
Poenitentia”, Tertulianus (sekitar 160-220) menulis bahwa pendosa yang bertobat
haruslah “hidup tanpa bersenang-senang dengan mengenakan kain kabung dan abu.”
Eusebius (260-340), sejarahwan Gereja perdana yang terkenal, menceritakan dalam
bukunya “Sejarah Gereja” bagaimana seorang murtad bernama Natalis datang kepada
Paus Zephyrinus dengan mengenakan kain kabung dan abu untuk memohon
pengampunan. Juga, dalam masa yang sama, bagi mereka yang diwajibkan untuk
menyatakan tobat di hadapan umum, imam akan mengenakan abu ke kepala mereka
setelah pengakuan.
Dalam abad pertengahan
(setidak-tidaknya abad kedelapan), mereka yang menghadapi ajal dibaringkan di
tanah di atas kain kabung dan diperciki abu. Imam akan memberkati orang yang
menjelang ajal tersebut dengan air suci, sambil mengatakan “Ingat engkau
berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu.” Setelah memercikkan air suci,
imam bertanya, “Puaskah engkau dengan kain kabung dan abu sebagai pernyataan
tobatmu di hadapan Tuhan pada hari penghakiman?” Yang mana akan dijawab orang
tersebut dengan, “Saya puas.” Dalam contoh-contoh di atas, tampak jelas makna
abu sebagai lambang perkabungan, ketidakabadian dan tobat.
Akhirnya, abu
dipergunakan untuk menandai permulaan Masa Prapaskah, yaitu masa persiapan
selama 40 hari (tidak termasuk hari Minggu) menyambut Paskah. Ritual perayaan
“Rabu Abu” ditemukan dalam edisi awal Gregorian Sacramentary yang diterbitkan
sekitar abad kedelapan. Sekitar tahun 1000, seorang imam Anglo-Saxon bernama
Aelfric menyampaikan khotbahnya, “Kita membaca dalam kitab-kitab, baik dalam
Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, bahwa mereka yang menyesali
dosa-dosanya menaburi diri dengan abu serta membalut tubuh mereka dengan kain
kabung. Sekarang, marilah kita melakukannya sedikit pada awal Masa Prapaskah
kita, kita menaburkan abu di kepala kita sebagai tanda bahwa kita wajib
menyesali dosa-dosa kita terutama selama Masa Prapaskah.” Setidak-tidaknya
sejak abad pertengahan, Gereja telah mempergunakan abu untuk menandai permulaan
masa tobat Prapaskah, kita ingat akan ketidakabadian kita dan menyesali
dosa-dosa kita.
Dalam liturgi kita
sekarang, dalam perayaan Rabu Abu, kita mempergunakan abu yang berasal dari
daun-daun palma yang telah diberkati pada perayaan Minggu Palma tahun
sebelumnya yang telah dibakar. Imam memberkati abu dan mengenakannya pada dahi
umat beriman dengan membuat tanda salib dan berkata, “Ingat, engkau berasal
dari debu dan akan kembali menjadi debu,” atau “Bertobatlah dan percayalah
kepada Injil.” Sementara kita memasuki Masa Prapaskah yang kudus ini guna menyambut
Paskah, patutlah kita ingat akan makna abu yang telah kita terima: kita
menyesali dosa dan melakukan silih bagi dosa-dosa kita. Kita mengarahkan hati
kepada Kristus, yang sengsara, wafat dan bangkit demi keselamatan kita. Kita
memperbaharui janji-janji yang kita ucapkan dalam pembaptisan, yaitu ketika
kita mati atas hidup kita yang lama dan bangkit kembali dalam hidup yang baru
bersama Kristus. Dan yang terakhir, kita menyadari bahwa kerajaan dunia ini
segera berlalu, kita berjuang untuk hidup dalam kerajaan Allah sekarang ini
serta merindukan kepenuhannya di surga kelak. Pada intinya, kita mati bagi diri
kita sendiri, dan bangkit kembali dalam hidup yang baru dalam Kristus.
Sementara kita mencamkan
makna abu ini dan berjuang untuk menghayatinya terutama sepanjang Masa
Prapaskah, patutlah kita mempersilakan Roh Kudus untuk menggerakkan kita dalam
karya dan amal belas kasihan terhadap sesama. Bapa Suci dalam pesan Masa
Prapaskah tahun 2003 mengatakan, “Merupakan harapan saya yang terdalam bahwa umat
beriman akan mendapati Masa Prapaskah ini sebagai masa yang menyenangkan untuk
menjadi saksi belas kasih Injil di segala tempat, karena panggilan untuk
berbelas kasihan merupakan inti dari segala pewartaan Injil yang sejati.”
Beliau juga menyesali bahwa “abad kita, sungguh sangat disayangkan, terutama
rentan terhadap godaan akan kepentingan diri sendiri yang senantiasa
berkeriapan dalam hati manusia … Suatu hasrat berlebihan untuk memiliki akan
menghambat manusia dalam membuka diri terhadap Pencipta mereka dan terhadap
saudara-saudari mereka.”
Dalam Masa Prapaskah
ini, tindakan belas kasihan yang tulus, yang dinyatakan kepada mereka yang
berkekurangan, haruslah menjadi bagian dari silih kita, tobat kita, dan
pembaharuan hidup kita, karena tindakan-tindakan belas kasihan semacam itu
mencerminkan kesetiakawanan dan keadilan yang teramat penting bagi datangnya
Kerajaan Allah di dunia ini.
* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and a professor of catechetics and theology at Notre Dame Graduate School in Alexandria.
Sumber :
“Straight
Answers: The Ashen Cross” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic
Herald, Inc; Copyright ©2003 Arlington Catholic Herald. All rights
reserved; www.catholicherald.com
Diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”
Komentar
Posting Komentar
Silakan isi komentar anda..